Rabu, 25 Januari 2012

my trip

TRIP   TO   BROMO (MY OWN FIELD STUDY)
Liburan pertama saya sejak berstatus sebagai guru di SMP Labschool Cibubur. Demi mewujudkan keinginan saya untuk mendatangi Bromo, meskipun tanpa persiapan yang cukup matang saya berangkat bersama dengan seorang teman. Kami memulai perjalanan tanggal 28 Desember siang hari melalui terminal bus Kampung Rambutan.
Sebenarnya saya memang sudah membayangkan bahwa perjalanan yang saya tempuh ini pasti tidak mulus. Saya berpikir demikian karena transportasi yang saya gunakan pun seadanya. Yang  terpikir oleh saya adalah menumpang bus untuk menuju kota yang terdekat dengan Gunung Bromo. Ada tiga alternatif kota yang bisa dilalui untuk mencapai Bromo, yakni Probolinggo, Malang, dan Pasuruan. Pilihan saya jatuh pada Kota Malang, karena saya pikir jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dari pusat kota (berdasarkan info dari backpacker di internet).
Perkiraan saya mengenai sulitnya perjalanan menuju Malang ternyata benar terjadi. Butuh waktu lebih dari 24 jam untuk mencapai Malang dari Jakarta. Bus yang menawarkan tujuan Malang yang saya naiki ini ternyata mengarah ke Ponorogo. Alhasil, untuk menuju Malang saya harus singgah di dua kota yakni Madiun dan Jombang. Dari Jombang, barulah saya menaiki bus ¾ melalui Batu menuju Malang. Kota Batu sudah seperti daerah Puncak di Jawa Barat, dipenuhi dengan vila dan restoran di kiri-kanan jalannya. Saya sampai di Malang menjelang malam, sehingga perjalanan ke Bromo saya lanjutkan keesokan harinya.
Pagi hari sekitar pukul tujuh, saya menuju Pasar Tumpang. Berdasarkan informasi, dari Pasar Tumpang ini akan ada angkutan (truk pengangkut sayur ataupun pengangkut buruh tani) yang menuju Bromo. Ternyata saya datang terlalu siang, angkutannya sudah berangkat. Tetapi saya masih beruntung karena bertemu dengan rombongan mahasiswa yang hendak melakukan pendakian Gunung Semeru. Saya dan teman dibolehkan untuk menumpang mobil Jeep yang mereka sewa. Tujuan berikutnya adalah sebuah desa di kaki Gunung Semeru bernama Ranupane.
Perjalanan dengan Jeep menuju Ranupane memakan waktu sekitar 2 jam. Selama perjalanan, mata kami disuguhi pemandangan yang luar biasa seperti hamparan bukit hijau (biasa disebut bukit Teletubbies), jalanan berbatu dan hanya bisa dilewati satu mobil saja, serta berbagai jenis pepohonan yang biasa tumbuh pada daerah pegunungan. Hal lain yang menarik perhatian saya adalah lahan perbukitan yang dijadikan areal bercocok tanam. Selama perjalanan menuju Ranupane saya sempat berbincang dengan sang sopir Jeep karena saya dan teman saya duduk di bangku depan. Ada sebuah kalimat beliau yang masih saya ingat. Beliau mengatakan kalau saja ada penduduk Ranupane yang miskin, pastilah orang tersebut orang yang pemalas. Sang sopir beropini demikian karena pemukiman di Ranupane dikelilingi oleh lahan yang sangat luas dan subur. Penduduk Ranupane menanaminya dengan berbagai jenis sayuran antara lain kentang, kol, tomat, cabai, dan bawang daun. Hasilnya pun luar biasa melimpah sehingga dapat mencukupi kebutuhan hidup penduduk Ranupane.
Saya seketika teringat dengan dataran tinggi Dieng, tempat yang pernah saya kunjungi saat Kuliah Kerja Lapangan (KKL) semasa mahasiswa dahulu. Ingatan saya-pun berlanjut kepada sebuah obrolan singkat dengan dosen saya kala itu, yang menyatakan bahwa dataran tinggi akan mudah longsor karena hanya ditanami dengan jenis tanaman yang berakar pendek dan cenderung rapuh seperti akar tanaman sayur-sayuran. Tidak lama setelah kunjungan kami ke Dieng, ternyata benar kami mendengar berita bahwa Dieng mengalami longsor. Akhir tahun 2011 ini pun berita longsornya dataran tinggi Dieng terdengar lagi. Saya-pun menjadi khawatir, akankah hal tersebut terjadi juga di Ranupane? semoga saja tidak terjadi.
Kata Ranupane sudah pernah saya dengar beberapa kali yaitu dalam pertunjuk perjalanan menuju Bromo dan sebelumnya dari sebuah novel berjudul 5 cm, karya Dhony Dirgantoro. Sebuah novel yang bercerita tentang pertemanan sekelompok anak muda yang melakukan pendakian ke Gunung Semeru. Dalam novel tersebut diceritakan keindahan Ranupane sesaat sebelum mereka melakukan pendakian. Namun kenyataan yang saya hadapi sedikit berbeda dengan cerita yang pernah saya baca. Ranupane kini tidak terlihat memiliki air yang jernih karena seluruh permukaannya sudah tertutup rapat oleh tanaman eceng gondok.
Eutrofikasi sudah terjadi di Ranupane. Eutrofikasi adalah pencemaran air yang terjadi akibat penumpukan zat anorganik seperti Kalium (K), Phospor (P) maupun Nitrogen (N). Polutan yang paling mungkin menyebabkan eutrofikasi ini adalah pupuk. Tak heran jika terjadi eutrofikasi di Ranupane. Ranupane dikelilingi oleh lahan perbukitan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman sayuran. Pengelolaan pertanian tanpa pengetahuan yang cukup baik, terkadang justru menyebabkan kerugian bagi lingkungan.
Banyak para petani yang beranggapan bahwa jumlah pemberian pupuk akan berbanding lurus dengan kesuburan tanaman. Mereka menganggap semakin banyak diberi pupuk maka tanaman akan semakin subur. Anggapan ini salah karena unsur hara (mineral) yang terdapat dalam pupuk tidak semuanya akan diserap oleh tumbuhan. Tumbuhan akan menyeleksi jenis dan jumlah unsur hara yang akan diserapnya. Pemberian pupuk yang berlebihan adalah hal yang sia-sia bahkan merugikan. Apalagi curah hujan di kaki gunung Semeru ini sangat tinggi, maka kemungkinan terjadinya leaching (pencucian hara) oleh air hujan sangat besar. Mineral yang ada pada pupuk terlepas dari ikatan molekul tanah akibat arus air hujan yang deras. Mineral tersebut terbawa aliran air hujan sampai ke muara aliran air tersebut, dalam hal ini (daerah dataran tinggi) muaranya adalah danau, Ranupane. Akibat yang terjadi adalah kematian biota yang terdapat di danau tersebut. Seharusnya manusia dapat memanfaatkan alam tanpa merusaknya. Mudah-mudahan keadaan ini dapat segera dibenahi, sehingga Ranupane dapat kembali seperti dulu.
Setelah cukup istirahat kami melanjutkan perjalanan ke Bromo, menuruni kaki gunung Semeru menggunakan ojek sepeda motor. Harga yang harus kami bayarkan untuk menyewa jasa ojek sepeda motor menuju ke Bromo cukup mahal, yakni Rp 75.000. Tetapi setelah saya menempuh perjalanan tersebut, saya berkesimpulan bahwa harga yang diminta cukup wajar, karena jarak yang sangat jauh dan medan yang ditempuh juga amat sulit. Lagi-lagi kami menikmati perjalanan yang cukup menegangkan namun disuguhi pemandangan yang luar biasa indah. Seperti biasa, saat menempuh perjalanan juga saya manfaatkan untuk berbincang banyak hal dengan pengendara ojek motor itu. Pak Mujianto namanya, orang asli Batu Malang, namun istrinya adalah penduduk asli Ranupane.
Beberapa hal yang saya perbincangkan dengan Pak Mujianto adalah mengenai kesulitan anak-anak desa Ranupane untuk mengenyam pendidikan. Di desa Ranupane hanya ada dua lembaga pendidikan formal, yakni TK dan SD selain ada TPA sebagai sarana pendidikan keagamaan. Mengingat program Wajib Belajar 9 tahun yang telah lama dicanangkan oleh pemerintah, hal ini tentu sangat menyedihkan. Namun berdasarkan info dari Pak Mujianto, pemerintah daerah sudah berjanji untuk membangun SMP di wilayah Desa Ranupane. Semoga saja janji tersebut dapat segera dipenuhi, sehingga hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan dapat terwujud nyata.
Hal lain yang juga diceritakan oleh Pak Mujianto kepada saya adalah mengenai kearifan lokal warga sekitar Bromo. Kepercayaan warga Bromo bahwa mereka selalu dilindungi oleh para dewa yang juga menjaga Gunung Bromo, menjadikan wilayah ini cenderung aman dari tindakan kriminal. Mereka meyakini bahwa orang yang berniat buruk di wilayah Bromo dan sekitarnya pasti akan mendapatkan kesulitan maupun bencana. Selain itu, beliau juga menceritakan bahwa toleransi antar-umat beragama di wilayah Bromo dan sekitarnya berjalan dengan baik. Kerukunan warga selalu tercipta meskipun agama dan kepercayaan yang dianut berbeda-beda. Hal ini tentunya patut ditiru oleh seluruh masyarakat Indonesia, bahkan dunia.
Saya sampai di kaki Gunung Bromo sekitar pukul 13.00. Untuk mencapai puncak Bromo sehingga dapat melihat bagian kawahnya saya harus menaiki sekitar 250 anak tangga, setelah sebelumnya menumpang kuda. Ya, lagi-lagi kondisi alam yang menjadi potensi wisata mendatangkan banyak keuntungan secara ekonomi bagi para penduduk sekitar. Hanya saja yang perlu diingat bahwa manusia pun seharusnya bersikap bijak terhadap lingkungannya. Tidak mengeksploitasi secara berlebihan, serta tetap melestarikannya.
Satu jam saya berada di puncak Bromo, menikmati pemandangan sekaligus melepas lelah. Setelah cukup puas, saya memutuskan untuk turun dari puncak Bromo. Untuk perjalanan pulang saya memutuskan untuk melewati jalur Probolinggo, yang katanya perjalanannya lebih nyaman dan ada angkutan penumpang (ELF) yang mudah ditemukan. Maka saya pun kembali menyewa jasa ojek motor untuk menuju terminal Cemorolawang. Dari Cemorolawang ini, saya akan naik ELF menuju terminal Probolinggo.
                Ternyata memang benar, jalur Probolinggo memang jalur yang didesain khusus untuk pariwisata ke Bromo. Akses dari Probolinggo ke Cemorolawang dan sebaliknya lebih mudah. Jalan sudah diaspal semua, bahkan banyak sekali penginapan yang dibangun di sekitar Cemorolawang. Tetapi saya justru merasa senang dan puas karena perjalanan memuju Bromo saya tempuh lewat jalur Tumpang (Malang), karena pemandangan yang tersaji lebih indah dibandingkan jalur Cemorolawang. ELF berangkat sekitar pukul 16.00 dan tiba di terminal Probolinggo sekitar pukul 17.30. Berikutnya saya menunggu bus menuju ke Yogyakarta, tempat transit saya berikutnya sebelum kembali ke Jakarta.